Kompetisi sepakbola kasta tertinggi Indonesia baru saja berakhir dan seperti kita ketahui Persipura Jayapura sukses merengkuh titel juara Superliga di edisi pertama kalinya digelar. Format kompetisi satu wilayah ini mengingatkan kembali ingatan kita pada format kompetisi Galatama di era 80-an. Sebuah gambaran persaingan yang kala itu diisi oleh klub-klub dengan didanai langsung oleh perusahaan swasta dan menjadi cikal bakal sepakbola profesional. Situasi tersebut kontan menjadi pembeda sepakbola di Indonesia yang saat itu masih kental dengan nuansa amatir dengan sokongan penuh dari pemerintah daerah.
Di era Galatama-lah Arema lahir dan mulai menancapkan eksistensinya di persepakbolaan profesional Indonesia terutama setelah mengalami perubahan status kepemilikan dari Lucky ACub Zainal ke PT. Bentoel. Dengan raihan juara Divisi I dan 2 kali juara Copa Indonesia di awal masa transisi ini menguatkan ekspektasi Aremania akan pencapaian prestasi yang lebih tinggi di masa ke depannya. Begitu wajar kalau setiap awal musim Aremania begitu antusias menanti siapa pemain rekrutan terbaru sekaligus menggantungkan harapan juara, termasuk di even Superliga yang baru saja berakhir.
Untuk kedua kalinya dalam dua tahun ini, Arema tidak meraih gelar apapun dalam berbagai ajang yang dihelat di negeri ini. Terutama musim ini, yang lebih banyak diwarnai berbagai masalah, mulai tindakan indisipliner pemain asing di awal pembentukan tim, penunjukan Bambang Nurdiansyah sebagai pelatih bersama keputusan merekrut banyak pemain muda, dan masih banyak lagi masalah yang mengikuti hingga putaran kedua berakhir. Tidak heran Arema menjadi besar di media tapi tidak berbanding lurus dengan peringkat di klasemen. Keputusan berani berupa perekrutan pemain muda ini mengingatkan kita akan skuad Arsenal di Liga Inggris yang memang terdiri dari barisan anak muda bertalenta dan telah siap turun di kompetisi level tertinggi. Sayangnya hal ini tidak terjadi di Arema, pemain muda terkesan tampil penuh tekanan justru ketika bertanding di kandang dan performa tim juga terkesan labil.
Bongkar pasang pelatih dan pemain di putaran kedua tidak menolong Arema mencapai kestabilan permainan. Apalagi setelah kekalahan 0-2 dari Persib Bandung di Stadion Kanjuruhan, sang big boss, Darjoto Setiawan, mengeluarkan pernyataan akan merombak habis-habisan skuad Arema di musim depan. Ungkapan tersebut terucap setelah melihat penampilan pemain terkesan tampil tidak bersemangat padahal meraih poin penuh di kandang sangat menolong untuk mendongkrak posisi Arema di klasemen.
Meskipun Arema tidak terdegradasi tetapi target dari pihak manajemen untuk menempatkan posisi di papan atas terbukti gagal. Evaluasi terhadap semua elemen tim tetap harus dilakukan dan menyambut Superliga berikutnya alangkah baiknya kalau pihak manajemen memilih membentuk keutuhan tim yang menjadi inti dari kekuatan suatu tim itu sendiri. Perpanjangan kontrak pelatih dan pemain yang menjadi poros di masing-masing lini bisa menjadi salah satu opsi. Arsene Wenger, Alex Ferguson atau deretan pelatih sukses lainnya, tidak membangun timnya 1-2 tahun saja tetapi mereka mempercayai betul sebuah proses pembentukan dan itu membutuhkan waktu tidak sebentar. Gusnul Yakin layak diberi kesempatan membentuk tim berikut pemain pilihannya yang mendukung dalam skema permainan seperti kesuksesannya menukangi Persibo Bojonegoro.
Perombakan total tim tidak akan menyulap Arema menjadi tim yang berprestasi. Penampilan tim beserta pencapaian posisi di klasemen tahun ini bisa dijadikan refleksi untuk perbaikan di musim berikutnya.
No comments:
Post a Comment